Langit Menghakimi tapi Bumi Menutup diri



Kadang aku bertanya-tanya, apa benar yang rusak itu hanya sistem?
Atau jangan-jangan, kerusakan itu sudah begitu akrab karena memang tumbuh dari masyarakat itu sendiri?

Aku hidup di tengah lingkungan yang katanya “peduli”, “berbudaya”, "beragama" dan “bermoral”. Tapi semakin ke sini, aku makin menyadari, banyak dari kita lebih sibuk membentuk citra… daripada memperbaiki laku.

Baru-baru ini, sebuah kejadian tragis kembali menyentil nurani.
Sebuah truk bermuatan telur terguling. Sopirnya meninggal dunia.
Dan seperti sudah jadi refleks, warga sekitar datang bukan membawa pertolongan, tapi membawa kantong belanja.
Telur dijarah habis-habisan.
Ponsel sopir pun hilang, entah ikut terguling atau memang "terpindah tangan dengan ikhlas".

Yang menyedihkan, ini bukan cerita fiksi. Ini nyata.
Dan ironisnya, bisa jadi mereka yang menjarah itulah yang minggu depan ikut demo membela rakyat kecil.
Mungkin lupa bahwa yang tergeletak di aspal itu juga rakyat kecil.

Aku benar-benar lelah.
Lelah bukan karena berita-berita semacam itu terus bermunculan,
tapi karena masyarakat terlihat begitu cepat marah namun sangat lambat berkaca.

Lebih menyedihkan lagi, banyak yang hari ini merasa lebih tahu dari siapa pun hanya karena rajin scroll TikTok.
Opini dibentuk bukan dari data atau nalar, tapi dari cuplikan 15 detik dan filter aesthetic.
Asal yang bicara punya followers ratusan ribu, maka ucapannya seolah firman.
Padahal, tidak semua yang viral itu benar.
Tapi ya… FOMO lebih menarik daripada logika.

Lucunya, orang-orang seperti ini yang paling lantang bicara soal "open-minded" dan "melek literasi".
Padahal saat dikritik, mereka langsung berkata: “Kamu gak ngerti tren.”

Aku gak anti influencer.
Tapi ketika kebenaran digadaikan demi algoritma,
dan nurani dibungkam demi engagement di situlah aku mulai bertanya:
apakah kita masih benar-benar punya suara sendiri?
Atau cuma gema dari suara yang paling ramai?

Kita ini sering marah kalau negara rusak, tapi tak pernah sadar bahwa setiap ketidak jujuran kecil yang kita biarkan adalah pondasi dari kebusukan yang lebih besar.
Kita ingin pemimpin bersih, tapi tak keberatan kalau surat lamaran bisa “diatur”.
Kita ingin hukum ditegakkan, tapi memilih diam kalau pelakunya teman sendiri.

Aku menulis ini bukan karena aku sempurna. Jauh dari itu.
Tapi setidaknya aku masih bisa merasa lelah, lelah melihat lingkungan yang selalu merasa benar,
tapi menolak untuk bercermin.

Mungkin memang kita sedang krisis.
Bukan cuma krisis ekonomi atau hukum, tapi krisis akhlak, krisis empati, dan krisis kejujuran terhadap diri sendiri.
Dan selama krisis ini terus dirayakan dengan tagar dan filter,
maka jangan heran kalau bangsa ini akan terus berputar-putar dalam lubang yang sama.

Semoga tulisan ini bisa menjadi renungan bagi mereka yang masih mau baca.
Kalau tidak orang lain, ya minimal diriku sendiri. Karena perubahan paling jujur, selalu dimulai dari dalam.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram

Mental Inlander