Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram

 


Katanya kita sudah reformasi. Katanya hukum ditegakkan. Tapi nyatanya, tiap kali berita dibuka, yang muncul: pejabat ditangkap karena suap, proyek pembangunan fiktif, dana bansos digelapkan, dan praktik gratifikasi yang begitu terang-terangan. Seolah-olah, korupsi sudah menjadi kebiasaan, bukan lagi kejahatan.

Padahal, korupsi bukan sekadar mencuri uang negara. Ia mencuri harapan. Ia mencuri masa depan.

Skor yang Membuat Kita Menunduk

Menurut laporan Transparency International, Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2023, dengan skor 34 dari 100. Skor ini lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap integritas sektor publik semakin memburuk.

🔗 Sumber: Transparency International – CPI 2023

Bandingkan dengan tahun 2019, ketika skor kita masih 40. Bukannya membaik, kita malah turun. Jika ibarat nilai rapor, ini adalah nilai merah yang menandakan kegagalan.

KPK: Dulu Harapan, Kini Sorotan

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap korupsi. Tapi sejak revisi UU KPK tahun 2019, kepercayaan publik terhadap lembaga ini perlahan merosot. Banyak yang menilai KPK sekarang kehilangan taringnya.

📰 Dalam laporan Kompas, disebutkan bahwa jumlah penindakan kasus korupsi oleh KPK menurun drastis.
Bahkan, beberapa kasus besar seolah tenggelam tanpa kejelasan.

Pelemahan KPK ini bukan cuma soal teknis hukum. Ini soal pesan. Pesan bahwa perang melawan korupsi tidak lagi menjadi prioritas negara.

Korupsi Daerah dan "Bancakan" Anggaran

Di daerah, korupsi juga tak kalah ganas. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa dari total 580 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum sepanjang 2022, sebagian besar terjadi di sektor pemerintahan daerah. Modusnya beragam: mulai dari proyek fiktif, pengadaan barang dan jasa yang direkayasa, hingga mark-up anggaran.

📊 Potensi kerugian negara akibat korupsi sepanjang 2022 mencapai Rp42,7 triliun.
🔗 Sumber: Laporan ICW 2022

Bayangkan, uang sebesar itu bisa dipakai membangun ribuan sekolah, rumah sakit, atau subsidi pendidikan dan pangan untuk jutaan rakyat kecil.

Korupsi Itu Nyawa

Sering kita anggap korupsi sekadar kejahatan ekonomi. Tapi sesungguhnya, korupsi merenggut nyawa. Ketika dana pembangunan jembatan dikorupsi, maka jembatan ambruk dan nyawa melayang. Ketika dana kesehatan dikorupsi, rakyat tak mampu berobat. Ketika bansos dikorupsi, ibu-ibu tidak bisa memberi makan anak-anaknya.

Korupsi adalah kejahatan kemanusiaan.

Ekonom senior Faisal Basri pernah berkata:

"Korupsi telah menjadikan anggaran negara sebagai bancakan elit politik, sementara rakyat kecil hanya jadi penonton."

Ketika Korupsi Jadi Budaya

Yang lebih menyakitkan, korupsi di negeri ini kadang terasa sudah membudaya. Tak hanya di tingkat elit, tapi juga dalam praktik kecil sehari-hari: dari pungli, suap saat urus surat, hingga mental "asal ada bagian saya".

Ini bukan lagi soal hukum, tapi soal mentalitas. Soal karakter bangsa.

Harapan: Masih Adakah?

Meski kenyataannya pahit, harapan belum benar-benar pupus. Masyarakat sipil terus bergerak. Anak-anak muda kini makin sadar, makin kritis, dan tak ragu bersuara di media sosial. Aktivis anti-korupsi, jurnalis investigatif, dan akademisi terus menekan agar transparansi dan akuntabilitas dijunjung tinggi.

Teknologi digital juga membuka peluang. Platform pengaduan publik, transparansi anggaran desa secara daring, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan bisa jadi alat kontrol baru.

Namun, perubahan besar tidak akan datang jika rakyat hanya diam. Karena pemberantasan korupsi bukan tugas aparat semata. Ini tugas kita semua.

 Indonesia, Jangan Lelah Berbenah

Korupsi bukanlah takdir. Ia tumbuh karena sistem yang membiarkannya hidup. Ia bertahan karena kita tak cukup berani bersuara.

Indonesia tak akan benar-benar merdeka jika para pencuri berseragam berdasi terus dibiarkan menguras negeri ini. Kita butuh lebih dari sekadar slogan “Berani Jujur Hebat.” Kita butuh keberanian kolektif untuk berkata: “Cukup!”

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”
QS. An-Nisa: 58

 

Ditulis oleh: Anayatara
Tanggal: 16 Mei 2025
Sumber-sumber:

  • Transparency International CPI 2023

  • ICW Laporan Tahunan 2022

  • Kompas.com

  • Pernyataan Faisal Basri

  • Al-Qur’an al-Karim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langit Menghakimi tapi Bumi Menutup diri

Mental Inlander