Mental Inlander

Penjajahan di atas tanah Indonesia konon telah berakhir sejak 1945. Namun, siapa sangka, bentuk penjajahan yang lebih licik justru masih hidup, bersembunyi di balik wajah-wajah berpendidikan dan bangunan megah. Namanya bukan lagi Belanda atau Jepang, tapi ia menumpang hidup di kepala sebagian dari kita: mental inlander.

Mental inlander adalah warisan paling tragis dari masa kolonial. Ia bukan berupa senjata, bukan juga peraturan tertulis. Ia tinggal di dalam pikiran manusia yang menganggap bangsanya rendah, sementara yang datang dari luar selalu lebih baik. Ia menjelma dalam cara kita memandang diri sendiri inferior, tak percaya diri, dan terlalu sibuk mencari pengakuan dari mereka yang "kulitnya lebih terang" atau "bahasanya lebih keren".

Lihat saja fenomena sehari-hari. Kita masih menganggap produk luar negeri sebagai simbol kualitas dan gengsi. Mulai dari skincare, kendaraan, makanan, semuanya harus berlabel asing agar dianggap layak dipuja. Sementara produk anak bangsa dicurigai, dibanding-bandingkan, bahkan dijatuhkan dengan komentar sinis, seolah tak mungkin bisa bersaing. Kita lebih suka berbelanja di e-commerce luar negeri, menolak produk lokal yang sebenarnya tak kalah baik  hanya karena nama mereknya tak terdengar kebarat-baratan.

Di bidang bahasa, hal yang sama terjadi. Bahasa Inggris menjadi standar kelas sosial dan kecerdasan. Seseorang yang tak fasih dianggap ketinggalan zaman. Bahasa Indonesia sendiri kadang dipelintir agar terdengar seperti asing: seolah kalau tak terdengar seperti native speaker, maka tak layak jadi pemimpin, pengajar, atau narasumber.

Lebih jauh lagi, mental inlander muncul dalam pengambilan kebijakan. Banyak kepala daerah dan pejabat nasional merasa perlu mendatangkan konsultan luar negeri untuk program-program yang sejatinya bisa dikerjakan oleh ahli lokal. Kita punya dosen-dosen hebat, lulusan universitas ternama, tapi tetap saja, ketika seorang bule bicara di forum, kita berebut tepuk tangan. Ketika warga sendiri mengkritik, kita labeli sebagai pembenci, provokator, bahkan dianggap tidak nasionalis. Ironis, bukan?

Yang lebih menyedihkan, anak-anak muda kita pun sudah terbentuk dalam cara berpikir yang serupa. Mereka lebih kenal karakter anime dan idol K-Pop daripada tokoh pahlawan bangsa sendiri. Mereka lebih hafal lirik lagu asing daripada teks proklamasi kemerdekaan. Mereka lebih bangga memiliki paspor luar negeri daripada KTP Indonesia.

Kita terlalu sering mengukur kemajuan bangsa berdasarkan pujian dari dunia luar. Ketika ada tokoh internasional memuji Indonesia, kita ramai-ramai membagikannya. Tapi begitu ada intelektual lokal menyampaikan kritik atau gagasan, ia dihujat dan dibungkam. Kita tidak lagi menilai diri sendiri dengan standar yang kita bangun, melainkan dengan kacamata asing yang tidak sepenuhnya memahami konteks kita.

Padahal, bangsa yang besar tidak membutuhkan validasi terus-menerus. Bangsa yang besar membangun peradaban sendiri, dengan percaya diri. Lihat bagaimana Tiongkok berdiri tegak tanpa harus berganti bahasa. 

Mental inlander adalah penyakit kronis yang tidak tampak di hasil CT scan, tapi merusak cara kita berpikir, berbicara, dan bertindak. Ia membuat kita bangga menjadi pasar, bukan produsen. Ia membuat kita merasa harus selalu meniru, bukan mencipta. Ia membuat kita menunduk di meja perundingan, bukan duduk setara.

Penyembuhannya tentu bukan instan. Butuh perubahan pola pikir dari sekolah, media, keluarga, hingga institusi negara. Butuh keberanian untuk membangun rasa percaya diri nasional, bukan sekadar jargon kosong. Dan yang terpenting, butuh kesadaran bahwa kita tidak akan pernah benar-benar merdeka jika masih merasa rendah terhadap bangsa sendiri.

Penjajahan memang sudah pergi. Tapi selama mental inlander masih tumbuh subur, kita tak lebih dari bangsa yang telah mengganti penjajah asing dengan penjajah yang lebih halus: pikiran sendiri. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langit Menghakimi tapi Bumi Menutup diri

Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram