Ketika Panggung Rakyat Dipenuhi Aktor Hedon

 



Di tengah hiruk-pikuk media sosial yang penuh dengan suara-suara lantang tentang rakyat kecil, aku melihat satu pola yang semakin sering muncul  orang-orang yang berdiri di atas mimbar virtual, mengutuk kemiskinan dan mengkritik kebijakan negara, sambil menyantap makan siang mewah di restoran mahal. Mereka menyebut diri sebagai "wakil suara rakyat", tapi gaya hidup mereka sudah tak jauh berbeda dari para elit yang mereka cela.

Lucu memang, melihat seseorang mengunggah kritik tajam soal undang-undang yang dianggap menindas rakyat kecil, dengan caption yang begitu pedas, tapi latar belakang fotonya menunjukkan sepiring wagyu, segelas wine, atau meja makan yang lebih mirip pameran gaya hidup kelas atas. Sambil menyuarakan tentang kelaparan, mereka tak sadar sedang duduk di tengah kenyamanan yang tak tersentuh oleh suara perut keroncongan rakyat yang katanya mereka bela.

Apa ini bentuk solidaritas atau sekadar cari panggung? Kadang aku curiga, jangan-jangan ini cara baru untuk menarik simpati rakyat demi tiket jadi caleg di masa depan. Citra "peduli rakyat" yang dikemas estetik, biar terlihat progresif dan revolusioner, padahal tak lebih dari pencitraan kosong. Ironi yang menyakitkan adalah saat mereka mampu membantu, tapi memilih menolak karena merasa "itu tugas negara, bukan urusan pribadi". Padahal, perubahan besar tak selalu datang dari gedung parlemen kadang datang dari tangan yang diam-diam memberi, dari hati yang tak butuh sorotan kamera.

Aku lebih respect pada mereka yang tak banyak bicara, tapi langkahnya berdampak. Mereka yang membangun sekolah tanpa sorotan media, yang menyumbang sembako tanpa unggahan Instagram, yang memasak lebih banyak agar tetangganya yang lapar bisa ikut makan. Mereka yang memilih menjadi emas dalam tumpukan arang tak berkilau karena sorotan, tapi benar-benar bernilai.

Di dunia yang semakin bising ini, kadang yang paling tulus justru yang paling sunyi. Dan di tengah segala kepalsuan, mereka yang diam tapi nyata, adalah harapan yang masih bisa kita genggam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langit Menghakimi tapi Bumi Menutup diri

Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram

Mental Inlander