Dalam Nama Agama, Kita Menyakiti Sesama
Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Tapi ironisnya, justru di negeri ini kita kerap menyaksikan bagaimana agama yang seharusnya menjadi cahaya petunjuk disalahgunakan untuk membenarkan kekuasaan, intoleransi, hingga kekerasan simbolik. Fenomena ini bisa kita sebut sebagai "mabuk agama", yaitu kondisi ketika seseorang atau kelompok terlalu larut dalam semangat keagamaan secara superfisial, namun kehilangan kedalaman ruh dan esensi nilai-nilainya.
๐ฅ Ketika Agama Dijadikan Alat Politik
Salah satu wajah paling nyata dari penyimpangan ini adalah politisasi agama. Kita melihat bagaimana jargon-jargon keislaman dikemas untuk mendulang suara dalam pemilu, bukan untuk membina akhlak umat. Ayat-ayat suci kerap dikutip sepotong-sepotong demi kepentingan kelompok. Yang tidak sejalan dicap kafir, liberal, atau musuh Islam, padahal bisa jadi mereka justru sedang memperjuangkan keadilan yang lebih substansial.
๐ Intoleransi Mengatasnamakan Iman
Sejak satu dekade terakhir, Indonesia mengalami peningkatan kasus intoleransi yang mengkhawatirkan. Penutupan rumah ibadah, sweeping terhadap minoritas, hingga ujaran kebencian bernuansa agama di media sosial, semuanya mengatasnamakan "amar ma'ruf nahi munkar", namun lupa bahwa Islam juga menekankan rahmah, hikmah, dan mu’ฤmalah yang santun.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri dalam beberapa kajiannya menyoroti maraknya paham takfiri (mengkafirkan sesama Muslim), paham ekstrem, dan penyalahgunaan dalil untuk kekerasan.
๐ Menurut Setara Institute, tahun 2023 mencatat 333 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, naik dari tahun-tahun sebelumnya.
๐ Simbolisme yang Kosong
Hari ini, banyak orang lebih bangga menunjukkan identitas keagamaannya lewat simbol-simbol luar: jilbab panjang, jenggot, kaligrafi, atau konten islami viral di TikTok. Tapi di sisi lain, korupsi, manipulasi, dan pembiaran terhadap ketidakadilan sosial tetap dibiarkan atau bahkan dilakukan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai “pejuang Islam”.
Padahal, Rasulullah ๏ทบ pernah bersabda:
"Akan datang suatu zaman pada manusia, di mana kulit Al-Qur’an masih dibaca, tetapi tidak melebihi tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah melesat dari busurnya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Ini bukan berarti simbol tidak penting. Tapi simbol tanpa akhlak adalah topeng, bukan iman.
Krisis Literasi Islam
Penyimpangan juga diperparah oleh rendahnya literasi keislaman. Banyak orang hanya belajar dari potongan video pendek, quotes viral, atau penceramah tanpa sanad dan keilmuan yang jelas. Pemahaman yang dangkal ini menjadi ladang subur bagi radikalisme dan klaim kebenaran tunggal.
Di sinilah pentingnya kembali ke ulama yang lurus, kembali mempelajari Islam dengan tadabbur, bukan sekadar taqlid buta.
Kembali ke Islam yang Membebaskan
Islam bukan agama yang menakutkan. Islam datang sebagai rahmat. Ketika Nabi Muhammad ๏ทบ ditawari untuk menghancurkan kaum Thaif yang menyakitinya, beliau justru memilih memaafkan. Ketika Bilal disiksa karena iman, Islam tidak menyuruh membalas dengan kekerasan, tapi dengan keteguhan dan kesabaran.
Hari ini, kita butuh lebih banyak orang yang berislam secara cerdas dan penuh kasih sayang. Bukan hanya keras terhadap diri sendiri, tapi juga adil terhadap orang lain. Bukan hanya sibuk menuduh sesat, tapi sibuk memperbaiki diri dan masyarakat.
Fenomena mabuk agama bukan tentang Islam-nya, tapi tentang cara sebagian orang memperlakukannya. Agama menjadi candu ketika dijalani tanpa ilmu, tanpa cinta, dan tanpa rasa tanggung jawab sosial. Sudah saatnya kita bangun dari mabuk, dan kembali kepada Islam yang sebenar-benarnya: agama yang membebaskan, bukan membelenggu. Agama yang memanusiakan, bukan menghakimi.
Komentar
Posting Komentar