Rakyat Kecil dan Ilusi Ketidakberdayaan
Sering terdengar di ruang-ruang perbincangan: rakyat kecil tidak bisa korupsi. Seakan korupsi hanyalah dosa kaum bersafari resmi, para penguasa yang bermain anggaran dalam gedung-gedung megah. Namun benarkah demikian? Ataukah ini sekadar ilusi untuk membenarkan luka-luka moral yang kita enggan akui?
Kemiskinan memang kerap disebut sebagai alasan, tetapi ia juga bisa menjadi pintu bagi pelanggaran yang tak kalah berbahaya. Ketika kebutuhan mendesak bertemu peluang yang abu-abu, di situlah godaan untuk menyimpang tumbuh subur.
Serangan fajar diterima tanpa banyak tanya. Tanah negara dijual diam-diam demi sesuap nasi. Bangunan liar berdiri gagah di atas hak milik negara tanpa izin ataupun rasa bersalah. Bahkan ada kisah nyata pemerintah kota menyediakan lapak gratis untuk berdagang, namun alih-alih dimanfaatkan sebagaimana mestinya, lapak itu disewakan kepada orang lain. Ironisnya, si penerima fasilitas justru berjualan di trotoar, menambah semrawut wajah kota yang sudah lelah.
Bukankah ini juga korupsi? Bukankah ini juga pengkhianatan terhadap uang rakyat?
Korupsi bukan semata persoalan angka miliaran atau jabatan tinggi. Ia adalah soal mental, soal bagaimana kita memperlakukan hak bersama untuk kepentingan pribadi.
Pemerintah, suka atau tidak suka, adalah cermin dari rakyatnya. Namun, kita kerap bercermin pada cermin cekung, kesalahan pemerintah tampak raksasa, sementara kesalahan sendiri dikecilkan, dicari-cari alasannya, diminta dimaklumi. Kita gemar membesar-besarkan dosa orang lain, sambil membungkus dosa sendiri dengan kata "terpaksa" atau "tidak ada pilihan".
Padahal, perbaikan bangsa tak akan lahir dari saling menyalahkan. Ia bermula dari kejujuran dalam tindakan kecil, dari keberanian mengakui bahwa korupsi, sekecil apa pun, tetaplah mencuri. Dan setiap pencurian, lambat laun, akan menggali lubang untuk kita semua.
Kita lupa, bahwa perubahan bukan datang dari keluhan,
bukan tumbuh dari makian,
tetapi dari keberanian memungut kembali serpihan-serpihan kecil itu,
dan mengaku:
"Akulah bagian dari luka ini."
Sebelum menuntut langit bersih,
sudikah kita membersihkan tanah tempat kita berdiri?
Jika ingin melihat bangsa ini berubah, jangan hanya menuding ke atas. Lihatlah ke dalam diri sendiri karena mungkin, di sanalah akar masalahnya tersembunyi
Komentar
Posting Komentar