Keadilan Sosial? Hanya untuk yang Viral!

 


Ketika Nasib Warga Bergantung pada Seberapa Ramai Mereka di Media Sosial

Negara Netizen?

Pernahkah kalian memperhatikan, dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus yang mendapatkan keadilan justru adalah yang sempat trending di media sosial? Dari penganiayaan ART, penolakan pasien miskin, hingga pemecatan semena-mena banyak yang tidak ditindak lanjuti aparat, kecuali sudah viral lebih dulu.

Seolah-olah, keadilan kini bisa diakses hanya oleh mereka yang "cukup menarik" untuk diberitakan. Mereka yang tidak punya jaringan, kamera, atau followers… silakan antre di belakang. Atau tidak dilirik sama sekali.

Bukan Isu Baru, Tapi Semakin Terlihat

Fenomena ini bukan hal baru. Namun kini, keberadaan media sosial memperuncing jurang antara yang “terdengar” dan yang “terlupakan.”

Contoh yang mencolok:

  • Kasus ibu di Kendari (2023) yang kehilangan anaknya karena ditolak rumah sakit dengan alasan "tidak ada alat." Setelah cuitan viral, baru menteri turun tangan.
  • Pegawai minimarket di Surabaya (2024) yang dipecat karena menolak dilecehkan atasannya. Tidak ada tindakan hukum, sampai akhirnya video rekaman CCTV menyebar dan mengundang publik geram.
  • Remaja difabel di Bogor (2022) yang dianiaya oleh teman sekolahnya, kasus ini sempat didiamkan oleh sekolah hingga naik ke TikTok dan mendapat desakan publik.

Apa kabar ribuan kasus serupa yang tidak terekam kamera dan tidak viral?

Keadilan yang Pilih-Pilih

Yang menyedihkan, kita seperti hidup dalam sistem dua jalur:

  • Jalur satu: untuk yang viral → cepat ditangani, kadang bahkan “dipaksakan.”
  • Jalur dua: untuk yang sunyi → panjang prosesnya, sering macet, kadang dikubur diam-diam.

Padahal UUD 1945 Pasal 27 Ayat 1 jelas berbunyi:

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Namun kenyataan berbicara lain.

Peran Media Sosial: Pedang Bermata Dua

Media sosial memang ampuh dalam menekan sistem yang lambat. Tapi sayangnya, ini bukan solusi permanen.

Mengandalkan viralitas artinya:

  • Keadilan menjadi komoditas emosi dan atensi.
  • Yang ditolong adalah yang menyentuh narasi publik.
  • Bukan lagi soal benar atau salah, tapi seberapa besar engagement yang dihasilkan.

Efek Buruk yang Tersembunyi

Fenomena ini punya dampak serius:

  • Ketergantungan masyarakat pada media sosial untuk mendapatkan perlindungan hukum.
  • Turunnya kepercayaan terhadap aparat dan lembaga resmi.
  • Normalisasi narasi bahwa keadilan bisa "ditekan" lewat publik.

Dan lebih buruk lagi, penguasa bisa membentuk opini tandingan lewat buzzer atau framing berita, menyulap pelaku jadi korban, dan korban jadi pencitraan.

Keadilan tidak boleh bergantung pada trending topic. Negara harus:

  1. Perkuat lembaga pengaduan masyarakat yang cepat dan mudah diakses semua golongan.
  2. Hilangkan diskriminasi kasus berdasarkan sorotan publik.
  3. Berikan sanksi pada aparat yang menunda atau mengabaikan laporan warga.
  4. Pastikan transparansi penanganan kasus, viral atau tidak.

Keadilan yang Seharusnya untuk Semua

Jika kita hanya percaya pada kekuatan viral untuk mendapat perhatian negara, maka kita hidup dalam sistem darurat, bukan hukum.

Keadilan sosial sejati tidak akan lahir dari trending, tapi dari negara yang hadir tanpa disorot kamera.

 

Referensi:

  • Kompas.com – Kasus ART Dianiaya Majikan
  • Tempo.co – Penolakan Pasien Miskin
  • Tirto.id – Ketika Viral Jadi Jalan ke Keadilan
  • CNN Indonesia – Kasus Difabel Diabaikan Sekolah

 

Ditulis Oleh : Anayata

Tanggal: 16 Mei 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langit Menghakimi tapi Bumi Menutup diri

Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram

Mental Inlander