Menunggu Ombak di Kolam yang Tak Pernah Bergelombang
Ada satu kebiasaan yang pelan-pelan menjadi budaya di negeri ini: kegemaran menyalahkan siapa saja, selain diri sendiri. Ketika hidup tak berjalan sesuai harap, maka yang dicari bukan solusi, melainkan kambing hitam.
Pemerintah, sistem, cuaca, bahkan orang tua semua diseret ke meja penghakiman, sementara cermin di kamar hanya sekadar hiasan dinding.
Sementara di belahan dunia lain, aku melihat sesuatu yang berbeda. Di Eropa, misalnya, banyak orang yang justru merasa tenang saat sedang tidak bekerja. Bukan karena mereka malas, tetapi karena mereka punya waktu untuk berpikir.
Mereka merenungi keterampilan yang bisa mereka gunakan, mengasah lagi yang tumpul, menciptakan peluang dari yang nyaris tak terlihat. Mereka sibuk membuka jalan untuk orang lain, bukan berebut masuk ke lubang pintu yang sama.
Mereka tahu: menjadi manusia berarti terus mencipta, bukan sekadar menunggu.
Sementara di sini, di tanah tempat kakiku berpijak, banyak yang begitu pandai bicara.
Mereka meneriakkan “tidak adil”, namun belum pernah benar-benar belajar adil pada dirinya sendiri. Mereka berkata, “Tidak semua orang punya modal,” padahal ilmu hari ini bisa dipelajari gratis, dan usaha tak melulu soal uang.
Aku sendiri belum tamat kuliah, tapi mulai merasa gelisah.
Gelisah melihat realita, gelisah pada keterbatasanku sendiri.
Meski kuliahku ditanggung beasiswa penuh, aku tahu dunia nyata tak menerima ijazah sebagai mahar tunggal. Maka aku mulai bertanya: apa keterampilan yang kumiliki untuk menghasilkan uang? Apa yang bisa kulakukan, agar tidak sekadar menunggu?
Aku buka laptop, menjelajah puluhan lowongan.
Sayangnya, tak ada yang memenuhi kemampuanku.
Aku bisa bahasa Inggris, tapi tak fasih. Bisa bahasa Arab, tapi belum dalam. Bisa mengajar tahsin dan tahfidz, tapi belum siap untuk level internasional. Semua kemampuanku... tanggung.
Di saat itu, aku tidak memilih mengeluh. Aku memilih bertaubat taubat dari kemalasan, dari ketakutan akan kesalahan.
Aku mulai menekuni dua bahasa itu dengan lebih serius, dan membuka akun belajar. Aku mengajar bahasa Indonesia untuk orang asing, dan belajar kembali dari nol.
Aku juga mulai membuat akun bloger dan menulis di sana, juga mulai menulis novel. Memang semua usaha ini rasanya sangat melelahkan tanpa gaji pasti seperti karyawan yang punya gaji bulanan. Tapi setidaknya aku punya kegiatan positif dan aku yakin akan memanen hasilnya cepat atau lambat.
Kesalahanku yang lain: aku terlalu takut dinilai.
Takut salah. Takut dianggap tak pantas. Padahal, sematang apapun sebuah mangga, ia tetap harus jatuh ke tanah sebelum bisa tumbuh kembali sebagai pohon.
Dan manusia... akan tetap salah, karena ia manusia.
Tapi mereka yang mau menerima kesalahannya akan jauh lebih cepat tumbuh daripada mereka yang sibuk menunjuk orang lain.
Aku mulai berani memperkenalkan diri dengan branding yang kupilih.
Aku tahu: jika aku tak percaya pada diriku sendiri, maka siapa lagi?
Ketika libur semester, aku membantu ibuku berjualan. Kami membuat jajanan pasar yang sederhana. Keluargaku bukan keluarga bangsawan. Ibuku bukan pekerja kantoran, melainkan perempuan pasar. Tapi satu hal yang membuatku kagum:
Meski harga-harga kebutuhan pokok naik-turun, aku tak pernah mendengar ibuku mengeluh.
Tidak seperti mereka yang teriak-teriak di jalanan dengan pengeras suara, menyalahkan segala hal atas derita yang entah benar-benar mereka rasakan atau tidak.
Ironisnya, mungkin mereka bahkan belum pernah masuk ke pasar tradisional.
Tapi merekalah yang paling lantang menyuarakan penderitaan rakyat pasar.
Padahal rakyat pasar, seperti ibuku, tidak banyak bicara.
Mereka bekerja. Diam-diam, tapi mulia.
Bukankah Nabi bersabda:
"كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ"
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan diminta pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari no. 893, Muslim no. 1829)
Sebelum kamu menuntut pemimpin, tanyalah pada dirimu: sudahkah kamu berhasil memimpin dirimu sendiri?
Kalau satu orang saja, yaitu dirimu sendiri, belum bisa kamu arahkan dengan baik maka logikanya di mana, saat kamu menuntut pemimpin negeri yang harus mengatur ratusan juta orang?
Bisa jadi kamu merasa rugi atas satu kebijakan, tapi ada jutaan orang lain yang merasa terbantu oleh hal yang sama.
Hidup tidak pernah tentang keadilan personal, tapi keseimbangan semesta.
Yang lebih menyedihkan, banyak orang takut memulai usaha karena katanya: risikonya besar. Ada pula yang takut diganggu ormas, atau malu disebut pedagang kecil.
Tapi... mereka justru berani menghabiskan ratusan juta rupiah untuk menyuap agar anaknya diterima di instansi tertentu.
Mereka lebih rela tertipu oleh mimpi palsu ketimbang meniti jalan sunyi yang nyata.
Sebagian lagi memilih jadi gelandangan atau pengemis. Katanya: "Ini pilihan hidup."
Padahal resiko mereka sama saja: dikejar Satpol PP, kehilangan harga diri, dan hidup tanpa kepastian.
Setiap pilihan ada risikonya.
Yang perlu kita pikirkan bukan hanya "bagaimana cara dapat uang",
tetapi "bagaimana agar kita cukup, berkah, dan tetap menjadi manusia yang mulia."
Sayangnya, masih banyak yang meremehkan perjuangan kecil,
yang malu jualan makanan sederhana,
yang takut terlihat sederhana.
Padahal kerja keren bukan yang gajinya tinggi atau kantornya megah.
Tapi yang membuatmu jujur, berkembang, dan tidak kehilangan harga diri.
-Anayatara-
Komentar
Posting Komentar