Nyawa Lahir Bersama dengan Matinya Kemanusiaan

 




Belakangan ini ramai kritik terhadap kebijakan yang mensyaratkan penerima bantuan sosial (bansos) untuk menjalani vasektomi. Isu ini langsung mengundang gelombang penolakan, bahkan sebagian menyebutnya haram. Yang menarik, kemarahan itu begitu cepat datang ketika tubuh laki-laki mulai diatur. Padahal selama puluhan tahun, tubuh perempuan selalu jadi sasaran program pengendalian penduduk mulai dari suntik KB, pil hormonal, IUD, hingga implan yang efek sampingnya begitu berat. Tapi anehnya, hampir tak ada yang menyebutnya haram. Tak ada gelombang kritik seheboh ini. Seolah-olah, perempuan memang sudah sewajarnya memikul semuanya sendirian.

Dalam diam, perempuan menjalani prosedur medis yang mengubah siklus tubuhnya. Dalam diam, perempuan menahan efek samping yang tak jarang merusak metabolisme, memperparah emosi, hingga mengganggu kesehatan reproduksi. Semua atas nama program KB. Dan semua itu dianggap biasa. Tapi ketika kini muncul wacana vasektomi prosedur ringan dan jauh lebih minim risiko yang ditujukan pada laki-laki, dunia seolah runtuh. Padahal, bukankah ini seharusnya jadi momen yang membahagiakan? Bahwa beban pengendalian kelahiran tidak lagi dibebankan sepenuhnya pada perempuan?

Ironisnya, penolakan terhadap kebijakan ini kerap disertai dalil-dalil agama, salah satunya ayat Al-Qur’an yang berbunyi: "Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin." (QS. Al-Isra: 31). Tapi mari berhenti sejenak dan benar-benar berpikir. Ayat itu jelas berbicara tentang anak yang sudah ada, yang hidup. Sedangkan vasektomi adalah bentuk pencegahan kehamilan, bukan pembunuhan. Tidak ada janin. Tidak ada nyawa yang diambil.

Justru yang mengerikan adalah ketika anak-anak lahir ke dunia tapi hidupnya penuh derita: gizi buruk, tidak sekolah, tidak punya akses kesehatan, menjadi korban kekerasan, eksploitasi, atau tumbuh dengan luka batin yang dalam. Hidup, tapi seperti mati. Dibiarkan tumbuh tanpa masa depan, tanpa pilihan. Bukankah ini juga bentuk “pembunuhan”? Bukan fisik, tapi cita-cita, hak, dan impian mereka sebagai manusia yang layak.

Perintah yang paling jelas dari Al-Qur’an sebenarnya bukan hanya soal larangan membunuh, tapi perintah untuk berpikir. Betapa banyak ayat yang diawali dengan "Afala ta'qilun"Tidakkah kamu berpikir? Di sinilah letak masalahnya. Dalam isu sesederhana ini, logika kita sering ditinggalkan. Padahal agama tidak pernah anti pada nalar. Yang berbahaya adalah ketika ayat dijadikan alat untuk membungkam diskusi, bukan membukanya.

Bukan berarti kebijakan ini bebas kritik. Memang ada catatan soal etika pemaksaan dalam pemberian bansos. Tapi kritik harus datang dari akal sehat, bukan histeria moral yang bias gender. Feminisme mengajarkan bahwa keadilan tak boleh dibebankan hanya pada satu jenis kelamin. Jika perempuan selama ini menanggung semuanya dalam diam, bukankah sudah waktunya kita membagi beban itu bersama?

Tentu, kebijakan semacam ini tidak ideal jika dilaksanakan secara koersif. Tidak boleh ada unsur paksaan dalam urusan tubuh dan pilihan reproduksi siapa pun, laki-laki maupun perempuan. Vasektomi bukan masalah jika dilakukan atas dasar kesadaran dan persetujuan. Yang patut dipertanyakan adalah ketika negara mulai mencampuri hak-hak dasar warganya dengan iming-iming bantuan. Di sinilah perdebatan etis seharusnya terjadi: soal batas intervensi negara, bukan soal dalil yang ditafsir seenaknya.

Namun alih-alih membahas hal itu, banyak suara publik malah sibuk menyalahkan dari sisi agama. Lagi-lagi agama dijadikan alat untuk menolak peran laki-laki dalam pengendalian kelahiran. Ini bukan sekadar bias tafsir, tapi juga bias gender yang sudah lama kita warisi. Perempuan dianggap lebih layak menanggung semua risiko biologis karena sudah biasa. Padahal seharusnya, tubuh siapa pun tidak boleh dijadikan alat politik, apalagi dijadikan kambing hitam kebijakan.

Feminisme hadir bukan untuk menentang agama. Justru dalam banyak nilai-nilainya seperti keadilan, kesetaraan tanggung jawab, dan perlindungan terhadap yang lemah ada irisan yang selaras dengan spirit Islam. Namun feminisme juga menolak ketimpangan struktural, termasuk dalam urusan reproduksi yang selama ini hanya dibebankan pada perempuan. Ia bersuara saat perempuan dipaksa diam, dan mengajak laki-laki untuk turut bertanggung jawab, bukan malah berselimut di balik dalil yang dibaca separuh-separuh.

Bayangkan, jika selama ini perempuan bisa diam dan menurut meski tubuhnya disuntik, dioperasi, dipasangi alat, dan diberi pil yang mengacaukan hormon mengapa begitu sulit bagi sebagian laki-laki untuk sekadar mempertimbangkan vasektomi yang nyatanya lebih ringan dan minim risiko?

Yang kita butuhkan sekarang adalah ruang diskusi yang sehat, bukan hujatan. Kita perlu menghadirkan pendekatan agama yang memanusiakan manusia bukan yang melanggengkan ketimpangan. Karena pada akhirnya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya hak atas tubuh mereka, atas hidup mereka, dan atas masa depan anak-anak yang kelak mereka lahirkan. Dan hak itu, semestinya dibagi rata. Bukan dibebankan pada satu pihak, apalagi dijadikan alat politisasi.

Sebagaimana ajaran agama yang mengedepankan kasih sayang, berpikir, dan keadilan maka dalam isu ini pun, mari kita berpikir jernih. Jangan biarkan suara perempuan kembali tenggelam, hanya karena kita terlalu takut menyinggung kenyamanan laki-laki. Karena keadilan, selalu dimulai dari keberanian untuk mengoreksi kebiasaan yang timpang.

Baru-baru ini viral seorang bapak dengan 11 anak, yang menolak KB karena katanya "haram". Yang lebih menyakitkan, semua anaknya disuruh bekerja, sementara dia sendiri menganggur di rumah, tidak memberi nafkah, tidak mendidik, tidak melindungi. Ia bersembunyi di balik dalih agama, padahal apa yang ia lakukan adalah bentuk nyata dari pengabaian, pengkhianatan terhadap amanah sebagai orang tua.

Apa arti menjadi orang tua kalau hanya melahirkan tapi tidak mampu menghidupi dan mendidik anak-anak? Jika anak-anak dipaksa bekerja untuk menopang hidup keluarga, itu bukan keluarga, itu eksploitasi. Jadi, slogan " Banyak anak banyak rezeki." yang mereka maksud itu apakah : Banyak anak banyak karyawan gratis yg bisa menghasilkan banyak uang untuk orang tuanya?. Apakah mereka tidak paham bahwa rezeki adalah anak, bukan anak dipaksa cari rezeki. Katanya " Anak bawa rezekinya sendiri." Apakah mereka benar-benar tau tentang apa yang mereka katakan? atau hanya keyakinan kosong yang tidak didasari logika?. Anak bayi baru lahir apakah bisa membawa rezekinya sendiri? Tentu tidak!, Maka yang dimaksud dengan anak membawa rezekinya sendiri adalah anak lahir pasti langsung punya rezeki, dan orang tua yang baik dan bertanggung jawab adalah rezeki pertama dan hadiah terbaik dari Tuhan bagi anaknya. Dan Tuhan akan menitipkan rezeki anak kepada orang tua yang bertanggung jawab sampai anak itu dewasa dan bisa mencari rezekinya sendiri. Jadi rezeki orang tua adalah anak, dan rezeki anak adalah orang tuanya. Dan jika agama digunakan untuk membenarkan kelalaian ini, maka bukan agamanya yang salah tapi cara pikir dan hati nurani yang beku.

Efek Samping Kontrasepsi: Beban yang Tak Seimbang

Selama ini, perempuan telah menanggung beban kontrasepsi dengan berbagai metode hormonal seperti pil KB, suntik, implan, dan IUD. Metode-metode ini tidak lepas dari efek samping yang signifikan, termasuk mual, pusing, nyeri payudara, perubahan mood, penurunan libido, hingga risiko serius seperti stroke dan serangan jantung. Alodokter+4Hello Sehat+4kumparan+4Tirto

Sebaliknya, vasektomi pada pria merupakan prosedur yang relatif aman dengan risiko efek samping yang minimal. Efek samping yang mungkin terjadi meliputi nyeri ringan, pembengkakan, atau infeksi di area operasi, dan kondisi langka seperti Post-Vasectomy Pain Syndrome (PVPS) yang hanya terjadi pada sekitar 1–2% kasus. Hello Sehat+1Tirto+1Prodiadigital+1Tirto+1

Perspektif Agama: Antara Fatwa dan Keadilan

Dalam konteks agama Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bahwa vasektomi, sebagai bentuk sterilisasi permanen, hukumnya haram. Namun, MUI juga menekankan bahwa penggunaan kontrasepsi diperbolehkan selama tidak bersifat permanen dan tidak melanggar syariat. https://muslim.okezone.com/+5detikcom+5www.Pikiran-Rakyat.com+5https://muslim.okezone.com/

Prof. Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka, dalam berbagai kesempatan menekankan pentingnya memahami konteks dan tujuan dari suatu tindakan. Beliau mengajak umat Islam untuk menggunakan akal dan nalar dalam memahami ajaran agama, termasuk dalam hal perencanaan keluarga.

Kesimpulan: Menuju Keadilan Reproduksi

Isu vasektomi sebagai syarat bansos telah membuka diskusi penting tentang keadilan reproduksi dan peran gender dalam pengambilan keputusan keluarga. Sudah saatnya masyarakat dan pembuat kebijakan mempertimbangkan pendekatan yang lebih adil dan setara, di mana beban kontrasepsi tidak hanya ditanggung oleh perempuan.

Dengan memahami risiko dan manfaat dari berbagai metode kontrasepsi, serta mempertimbangkan pandangan agama secara holistik, kita dapat menciptakan kebijakan yang lebih manusiawi dan adil bagi semua pihak.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langit Menghakimi tapi Bumi Menutup diri

Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram

Mental Inlander