Umat yang Silau pada Nasab

 

Kemuliaan Bukan Warisan: Islam Menimbang Amal, Bukan Keturunan


"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian."
(HR. Muslim)

Di negeri ini, gelar seperti Habib, Gus, dan Ustadz kerap disambut takzim oleh masyarakat. Mereka dihormati, dimuliakan, bahkan terkadang dianggap "kebal kritik" hanya karena garis keturunannya atau status sosialnya di tengah umat. Tapi, apa jadinya ketika nasab lebih diagungkan daripada akhlak? Ketika gelar lebih dipuja dibanding adab?

 Kultus Gelar: Antara Hormat dan Fanatisme

Budaya “hormat” terhadap dzurriyah Nabi (keturunan Rasulullah ) dan keturunan ulama memang punya dasar, dan bahkan dianjurkan. Namun yang menjadi soal adalah ketika penghormatan berubah menjadi kultus. Kritik dianggap celaan, tabayyun dianggap kedurhakaan. Padahal Islam tidak membebaskan siapa pun dari kritik, termasuk para pemimpin dan ahli agama.

Beberapa kasus yang mencuat membuktikan bahwa nasab tidak menjamin amanah:

  •  Kasus Habib Hasan Bin Jafar Assegaf, pemimpin Majelis Taklim di Ciledug, ditangkap karena dugaan pencabulan terhadap belasan santri (Kompas, 17 Okt 2023).
  •  KH. Subchi Parakan, ayah dari mantan Bupati Pekalongan, dijerat kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur dengan modus mengaku "diminta Allah" (Detik, 2021).
  •  Sejumlah "Gus" dan ustadz viral dengan gaya hidup hedon dan konten-konten penuh kontroversi yang jauh dari nilai adab dan tawadhu’.

Ini bukan generalisasi. Banyak Habib, Gus, dan Ustadz yang benar-benar mulia, berilmu, dan layak diteladani. Tapi, sebagian mencoreng nama baik mereka sendiri dengan menjual nasab dan menyalahgunakan kepercayaan umat.

Ketika Umat Tak Lagi Tabayyun

Kebanyakan masyarakat kita mudah takjub dan percaya hanya karena gelar atau penampilan lahir. Padahal sejarah Islam mengajarkan kita untuk selalu menilai seseorang dari ilmu dan akhlaknya, bukan semata status sosial atau garis keturunan. Bahkan Umar bin Khattab RA pernah berkata:

"Jangan kalian tertipu dengan orang yang sering mengangkat jubah dan janggutnya. Lihatlah bagaimana akhlaknya dan ilmunya!"

Nasab mulia memang sebuah kehormatan, tetapi bukan jaminan kesalehan. Rasulullah bersabda:

"Barangsiapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan mempercepatnya."
(HR. Muslim)

Jualan Karomah, Keturunan Langit, dan Janji Surga

Tidak sedikit di antara tokoh agama hari ini yang terang-terangan menjual 'karomah', menjanjikan keberkahan, kekayaan, atau kesembuhan jika membeli minyak, air, atau benda yang "dijampi". Bahkan ada yang mencetak sertifikat masuk surga, mengaku wakil Tuhan, dan membungkus praktik perdukunan dengan simbol-simbol Islam.

Ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam murni. Bahkan dalam Al-Qur’an Allah mengecam orang yang menjual agama untuk dunia:

"Dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah."
(QS. Al-Baqarah: 41)

Kembali ke Esensi: Ilmu, Akhlak, dan Tanggung Jawab Sosial

Sudah saatnya umat ini mengembalikan standar kemuliaan kepada apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya: yaitu takwa, ilmu, dan akhlak mulia. Gelar bukanlah tameng dari dosa. Nasab bukanlah pelindung dari kebusukan moral.

Dan bagi para tokoh yang diberikan pengaruh oleh masyarakat, tanggung jawab mereka lebih besar. Mereka bukan hanya sedang membawa nama pribadi, tetapi membawa nama agama. Maka ketika mereka menyimpang, luka yang ditinggalkan lebih dalam, dan fitnah yang lahir lebih dahsyat.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langit Menghakimi tapi Bumi Menutup diri

Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram

Mental Inlander