Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

Mental Inlander

Penjajahan di atas tanah Indonesia konon telah berakhir sejak 1945. Namun, siapa sangka, bentuk penjajahan yang lebih licik justru masih hidup, bersembunyi di balik wajah-wajah berpendidikan dan bangunan megah. Namanya bukan lagi Belanda atau Jepang, tapi ia menumpang hidup di kepala sebagian dari kita: mental inlander . Mental inlander adalah warisan paling tragis dari masa kolonial. Ia bukan berupa senjata, bukan juga peraturan tertulis. Ia tinggal di dalam pikiran manusia yang menganggap bangsanya rendah, sementara yang datang dari luar selalu lebih baik. Ia menjelma dalam cara kita memandang diri sendiri inferior, tak percaya diri, dan terlalu sibuk mencari pengakuan dari mereka yang "kulitnya lebih terang" atau "bahasanya lebih keren". Lihat saja fenomena sehari-hari. Kita masih menganggap produk luar negeri sebagai simbol kualitas dan gengsi. Mulai dari skincare, kendaraan, makanan, semuanya harus berlabel asing agar dianggap layak dipuja. Sementara produk a...

Keadilan Sosial? Hanya untuk yang Viral!

  Ketika Nasib Warga Bergantung pada Seberapa Ramai Mereka di Media Sosial Negara Netizen? Pernahkah kalian memperhatikan, dalam beberapa tahun terakhir, kasus-kasus yang mendapatkan keadilan justru adalah yang sempat trending di media sosial? Dari penganiayaan ART, penolakan pasien miskin, hingga pemecatan semena-mena banyak yang tidak ditindak lanjuti aparat, kecuali sudah viral lebih dulu. Seolah-olah, keadilan kini bisa diakses hanya oleh mereka yang "cukup menarik" untuk diberitakan. Mereka yang tidak punya jaringan, kamera, atau followers… silakan antre di belakang. Atau tidak dilirik sama sekali. Bukan Isu Baru, Tapi Semakin Terlihat Fenomena ini bukan hal baru. Namun kini, keberadaan media sosial memperuncing jurang antara yang “terdengar” dan yang “terlupakan.” Contoh yang mencolok: Kasus ibu di Kendari (2023) yang kehilangan anaknya karena ditolak rumah sakit dengan alasan "tidak ada alat." Setelah cuitan viral, baru menter...

Umat yang Silau pada Nasab

  Kemuliaan Bukan Warisan: Islam Menimbang Amal, Bukan Keturunan "Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal kalian." (HR. Muslim) Di negeri ini, gelar seperti Habib, Gus, dan Ustadz kerap disambut takzim oleh masyarakat. Mereka dihormati, dimuliakan, bahkan terkadang dianggap "kebal kritik" hanya karena garis keturunannya atau status sosialnya di tengah umat. Tapi, apa jadinya ketika nasab lebih diagungkan daripada akhlak? Ketika gelar lebih dipuja dibanding adab?   Kultus Gelar: Antara Hormat dan Fanatisme Budaya “hormat” terhadap dzurriyah Nabi (keturunan Rasulullah ﷺ ) dan keturunan ulama memang punya dasar, dan bahkan dianjurkan. Namun yang menjadi soal adalah ketika penghormatan berubah menjadi kultus. Kritik dianggap celaan, tabayyun dianggap kedurhakaan. Padahal Islam tidak membebaskan siapa pun dari kritik, termasuk para pemimpin dan ahli agama. Beberapa kasus yang mencuat membuktikan bahwa nasab tidak menjamin...

Wajah Pengguna Agama di Balik Panggung

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia: menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” QS Ali-‘Imrân 3:110 Ayat itu menegaskan bahwa ukuran kemuliaan umat tidak berhenti pada simbol tetapi pada integritas. Ketika akhlak runtuh, agama hanya tinggal kulit. Fenomena “mabuk agama” tampak paling telanjang dalam tiga pola penyimpangan berikut: 1. Kiai Cabul & Kekerasan Seksual di Pesantren Kasus Lokasi Putusan/Perkembangan Herry Wirawan  – pemerkosa  13  santriwati Bandung Vonis  mati  (kasasi MA ditolak, Jan 2023)  KOMPAS.com KOMPAS.com MSAT (Mas Bechi)  – putra kiai Jombang Vonis  7 tahun  (Nov 2022)  Tempo KOMPAS.com Kiai  AK  – cabuli 10 santriwati Kuningan Ditahan, pasal perlindungan anak (Jan 2025)  detikcom Pimpinan ponpes...

Dalam Nama Agama, Kita Menyakiti Sesama

Gambar
  Indonesia dikenal sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Tapi ironisnya, justru di negeri ini kita kerap menyaksikan bagaimana agama yang seharusnya menjadi cahaya petunjuk disalahgunakan untuk membenarkan kekuasaan, intoleransi, hingga kekerasan simbolik. Fenomena ini bisa kita sebut sebagai "mabuk agama" , yaitu kondisi ketika seseorang atau kelompok terlalu larut dalam semangat keagamaan secara superfisial, namun kehilangan kedalaman ruh dan esensi nilai-nilainya. 🔥 Ketika Agama Dijadikan Alat Politik Salah satu wajah paling nyata dari penyimpangan ini adalah politisasi agama. Kita melihat bagaimana jargon-jargon keislaman dikemas untuk mendulang suara dalam pemilu, bukan untuk membina akhlak umat. Ayat-ayat suci kerap dikutip sepotong-sepotong demi kepentingan kelompok. Yang tidak sejalan dicap kafir , liberal , atau musuh Islam , padahal bisa jadi mereka justru sedang memperjuangkan keadilan yang lebih substansial. 😔 Intoleransi Mengatasnamakan ...

Bangsa yang Tumbuh di Atas Uang Haram

Gambar
  Katanya kita sudah reformasi. Katanya hukum ditegakkan. Tapi nyatanya, tiap kali berita dibuka, yang muncul: pejabat ditangkap karena suap, proyek pembangunan fiktif, dana bansos digelapkan, dan praktik gratifikasi yang begitu terang-terangan. Seolah-olah, korupsi sudah menjadi kebiasaan, bukan lagi kejahatan. Padahal, korupsi bukan sekadar mencuri uang negara. Ia mencuri harapan. Ia mencuri masa depan. Skor yang Membuat Kita Menunduk Menurut laporan Transparency International , Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2023 , dengan skor 34 dari 100 . Skor ini lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap integritas sektor publik semakin memburuk. 🔗 Sumber: Transparency International – CPI 2023 Bandingkan dengan tahun 2019, ketika skor kita masih 40. Bukannya membaik, kita malah turun. Jika ibarat nilai rapor, ini adalah nilai merah yang menandakan kegagalan. KPK: Dulu Harap...

Menunggu Ombak di Kolam yang Tak Pernah Bergelombang

Gambar
  Ada satu kebiasaan yang pelan-pelan menjadi budaya di negeri ini: kegemaran menyalahkan siapa saja, selain diri sendiri. Ketika hidup tak berjalan sesuai harap, maka yang dicari bukan solusi, melainkan kambing hitam. Pemerintah, sistem, cuaca, bahkan orang tua semua diseret ke meja penghakiman, sementara cermin di kamar hanya sekadar hiasan dinding. Sementara di belahan dunia lain, aku melihat sesuatu yang berbeda. Di Eropa, misalnya, banyak orang yang justru merasa tenang saat sedang tidak bekerja. Bukan karena mereka malas, tetapi karena mereka punya waktu untuk berpikir. Mereka merenungi keterampilan yang bisa mereka gunakan, mengasah lagi yang tumpul, menciptakan peluang dari yang nyaris tak terlihat. Mereka sibuk membuka jalan untuk orang lain, bukan berebut masuk ke lubang pintu yang sama. Mereka tahu: menjadi manusia berarti terus mencipta, bukan sekadar menunggu. Sementara di sini, di tanah tempat kakiku berpijak, banyak yang begitu pandai bicara. Mereka meneriakka...

Nyawa Lahir Bersama dengan Matinya Kemanusiaan

Gambar
  Belakangan ini ramai kritik terhadap kebijakan yang mensyaratkan penerima bantuan sosial (bansos) untuk menjalani vasektomi. Isu ini langsung mengundang gelombang penolakan, bahkan sebagian menyebutnya haram. Yang menarik, kemarahan itu begitu cepat datang ketika tubuh laki-laki mulai diatur. Padahal selama puluhan tahun, tubuh perempuan selalu jadi sasaran program pengendalian penduduk mulai dari suntik KB, pil hormonal, IUD, hingga implan yang efek sampingnya begitu berat. Tapi anehnya, hampir tak ada yang menyebutnya haram. Tak ada gelombang kritik seheboh ini. Seolah-olah, perempuan memang sudah sewajarnya memikul semuanya sendirian. Dalam diam, perempuan menjalani prosedur medis yang mengubah siklus tubuhnya. Dalam diam, perempuan menahan efek samping yang tak jarang merusak metabolisme, memperparah emosi, hingga mengganggu kesehatan reproduksi. Semua atas nama program KB. Dan semua itu dianggap biasa. Tapi ketika kini muncul wacana vasektomi prosedur ringan dan jauh lebih ...